Kajian Ilmiah Tentang Insomnia

Too weak to wake
Too tired to sleep
Too dark to see
Too broken to write
Too hurt to open the eyes
Seperti halnya emosi lainnya, kesedihan juga menjalar kemana-mana. Seakan membuka pintu pada sebuah ruang kecewa. Dan cerita tentang duka menghampiri dari mana-mana. Barangkali satu kata bisa membawa kita pada banyak cerita yang mengundang airmata. Dan kita selalu dibela oleh ketidakmengertian dari penyebab duka. Seperti halnya semua emosi yang kebanyakan hanya dipahami oleh diri sendiri. Aku semakin merasa sendiri. Sendiri yang sepi. Sendiri yang tak berarti.
7 Sep 2016, 23:23

                Catatan itu kutulis dengan mata yang sangat lelah dan ingin tidur, tapi mataku tak juga mengatup. Kadang kantuk adalah anugerah yang paling ditunggu bagi ia yang resah. Resah dan menyerah pada stigma yang membuat lelah. Suatu keadaan istimewa yang memiliki sebuah istilah. Ia adalah, insomnia. Tak ingin dikuasai oleh resah yang entah, aku memutuskan untuk memahaminya. Sebenarnya apa itu insomnia? Apa yang terjadi ketika seseorang mengalaminya?
                Insomnia termasuk dalam gangguan tidur. Dan gangguan tidur digolongkan dalam dua kategori utama, yaitu dissomnia dan parasomnia. Dissomnia adalah gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu dari tidur. Gangguan-gangguan tersebut mencakup 5 jenis spesifik: insomnia primer, hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang terkait dengan pernapasan, dan gangguan irama tidur sirkadian. Parasomnia adalah perilaku yang terganggu atau respons fisiologis abnormal yang terjadi pada saat tidur maupun pada ambang batas antara terjaga dan tidur. Parasomnia mencakup 3 jenis utama, yaitu: gangguan mimpi buruk, gangguan teror dalam tidur, dan gangguan berjalan sambil tidur.
Insomnia berasal dari bahasa latin in-, yang artinya “tidak” atau “tanpa”, dan tentu saja somnus, yang artinya “tidur”. Insomnia yang muncul sewaktu-waktu terutama pada saat kita sedang stress, bukanlah sesuatu yang abnormal. Namun, insomnia yang terus ada dan memiliki karakteristik kesulitan berulang untuk tidur atau untuk tetap tidur adalah pola perilaku yang abnormal. (Pallesen dkk., 2001).
Insomnia kronis yang bertahan selama sebulan atau lebih sering kali merupakan tanda dari masalah fisik atau gangguan psikologis seperti depresi. Jika problem yang ada di balik insomnia itu ditangani dengan baik, ada kemungkinan untuk memperbaiki pola tidur menjadi normal kembali. Insomnia kronis yang tidak disebabkan oleh gangguan psikologis atau fisik lainnya, atau oleh efek obat atau pengobatan, dikelompokkan dalam gangguan tidur yang disebut insomnia primer.
                Keterangan diatas adalah kutipan dari buku Psikologi Abnormal yang ditulis oleh Jeffrey S. Nevid dkk., halaman 63. Sebelum kita menghakimi diri sebagai pengidap insomnia primer –berdasarkan keterangan diatas—perlu diluruskan bahwa tiga kategori berikut ini haruslah tidak sedang kita alami. Yaitu: tidak sedang dalam keadaan stress atau tertekan (insomnia  yang terjadi dalam keadaan stress masih dikatakan normal), tidak ada gangguan fisik  (misalnya baru saja terjatuh sehingga nyeri yang ditimbulkan mengakibatkan sulit tidur), dan tidak dalam efek obat atau pengobatan (beberapa obat mengandung efek samping yang mengakibatkan sulit tidur).
Orang-orang dengan insomnia primer memiliki kesulitan yang terus-menerus untuk tertidur, tetap tidur, atau mengalami tidur yang restoratif (tidur yang membuat orang merasa segar dan berenergi) dalam jangka waktu sebulan atau lebih. Orang-orang muda dengan insomnia primer biasanya mengeluh membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menjadi tertidur. Orang yang lebih tua yang mengalami insomnia lebih banyak mengeluh sering terbangun pada malam hari, atau bangun terlalu awal di pagi hari.
Insomnia primer mengakibatkan rasa lelah di siang hari dan menyebabkan timbulnya stres pribadi yang signifikan atau kesulitan untuk menampilkan peran sosial,  belajar, pekerjaan, atau peran lainnya dengan baik. Tidak mengherankan bila terdapat komorbiditas (kemunculan bersama) yang tinggi antara insomnia dan masalah psikologis lain, terutama kecemasan dan depresi. (Breslau dkk., 1996; Morin &Ware, 1996). Meskipun prevalensi dari insomnia primer tidak diketahui, gangguan ini dipandang sebagai bentuk gangguan tidur yang paling umum.
Dengan kata lain insomnia adalah terganggunya sebuah pola untuk tertidur secara alami. Ini termasuk ke dalam jam biologis manusia. Jam biologis adalah waktu dimana tubuh kita merespons sesuatu secara alami yang sebagian besar dikendalikan oleh alam bawah sadar. Ini merupakan hasil kerja cerebellum (otak kecil yang terletak di ujung leher bagian atas) yang bekerja dengan cara melakukan refleks yang telah dipelajari sebelumnya oleh cerebrum (otak besar). Misalnya pada pola jam tidur, setiap pukul 9 malam kita membiasakan diri untuk tidur (dikendalikan oleh cerebrum). Maka di lain hari, setiap pukul 9 atau lebih –refleks yang tidak kita sadari—kita akan merasa mengantuk (dikendalikan oleh cerebellum).
Dalam kasus insomnia, terganggunya sebuah pola yang tidak kita sadari ini agaknya telah memengaruhi cerebellum untuk melakukan refleks ‘tidak mengantuk’ pada jam-jam tertentu—yang seharusnya kita sudah tertidur. Barangkali, jika digabungkan dengan teori yang disebutkan dalam Psikologi Abnormal tadi, pernah terjadi selama beberapa malam dimana kita terlalu cemas memikirkan sesuatu, sehingga pada malam-malam selanjutnya (meskipun kita sudah tak lagi mengetahui apa yang dicemaskan) otak secara tidak sadar mengulang pola ini dan mengubah refleks ‘waktunya tidur’ menjadi ‘waktunya untuk merasa cemas’.
Borkovec dan rekan-rekannya dalam buku Daniel Goleman, Emotional Intelligence, mulai mempelajari apa itu kekhawatiran ketika mereka berupaya mencari pengobatan untuk insomnia. Menurut pengamatan mereka, kecemasan muncul dalam dua bentuk: kognitif atau kecemasan yang muncul akibat adanya pikiran yang merisaukan, dan somatik, yaitu kecemasan yang mengakibatkan gejala-gejala fisiologis, seperti berpeluh, jantung berdebar-debar, atau ketegangan otot. Menurut Borkovec, seseorang yang menderita insomnia bukanlah karena alasan somatik, melaikan kognitif. Yang membuat mereka selaalu terjaga adalah pikiran-pikiran yang mengganggu. Mereka adalah tukang khwatir kronis, dan tak henti-hentinya khawatir meskipun sudah sangat mengantuk.
Menurut Borkovec, kekhawatiran—jika berada dalam porsi yang sewajarnya—berguna sebagai cara untuk menghadapi kemungkinan adanya ancaman atau bahaya. Saat kita merasa khawatir otak akan memusatkan perhatian sepenuhnya pada ancaman atau bahaya tersebut, hal ini akan mengurangi respons kita terhadap lingkungan sekitar yang sedang terjadi sehingga otak akan lebih peka dan cepat tanggap dalam menghadirkan solusi saat bahaya itu datang.
Namun permasalahannya, penderita insomnia hanya sekedar membayang-bayangkan bahaya itu sendiri, lalu menenggelamkan diri dalam ketakutan yang berkaitan dengan bahaya itu dengan tetap berpijak pada pola pikir  yang sama –Jika penggunaan kata ‘bahaya’ disini terkesan ekstrem, kita bisa menganalogikannya dengan kata ‘masalah’. Dan pengkhawatir kronis ini selalu merisaukan sesuatu yang sebagian besar belum terjadi dan tak mungkin terjadi. Mereka mengkhawatirkan bahaya-bahaya dalam hidup yang tak pernah dirisaukan orang lain.
Hal ini benar terbukti padaku. Ketika merasakan keresahan yang hebat di malam hari aku sering membayangkan –atau lebih tepatnya terbayang begitu saja secara tidak sadar—bahwa aku bertarung dengan zombie dan atau makhluk lain yang menginginkan kepunahan manusia. Hal ini sering pula terbawa dalam mimpi –jika dikaitkan dengan ilmu sains mungkin karena proses berpindahnya informasi dari short term memory ke dalam long term memory  yang prosesnya terjadi saat kita tidur. Tapi menurutku, dari situasi inilah banyak terlahir film-film fantasi hebat seperti insurgent, divergent, dan film lain tentang penyerangan terhadap sisi kemanusiaan manusia yang tidak aku ingat semua judulnya. (Perlu diingat juga bahwa keresahan atau kekhawatiran pada setiap penderita insomnia berbeda-beda, tergantung imaji mereka.)
Apakah pernah terpikir olehmu, mengapa penderita insomnia primer sangat kesulitan menghilangkan kebiasaan mereka? Insomnia sebagaimana disebutkan oleh Borkovec adalah tukang khawatir kronis. Kekhawatiran seolah tak berujung dan terus menerus muncul sehingga mirip kecanduan. Mengapa?
Dalam buku Emotional Intelligence, pada intinya adalah bahwa kekhawatiran menekan kecemasan. Terdengar bermakna sama memang. Namun jika kita artikan kembali dalam bahasa Inggris –karena buku ini adalah buku terjemahan—akan ditemukan perbedaan yang jelas. Worried untuk khawatir dan anxiety untuk kecemasan. Anxiety dalam bahasa inggris dan dalam ilmu psikiatri adalah suatu gangguan kecemasan yang berlebihan dan mengganggu keberlagsungan hidup seseorang baik disadari maupun tidak. Prosesnya terjadi seperti di bawah ini:
Penderita menangkap sesuatu yang memicu ancaman atau potensi bahaya atau sebuah masalah
Hal itu memicu serangan kecemasan ringan
Lalu penderita terseret dalam sederetan pikiran mencemaskan
Masing-masing pikiran itu membangkitkan efek berbeda
pikirannya akan teralih dari bayangan bencana atau masalah yang semula memicu kecemasan kepada efek dari deretan pikiran lainnya (fokusnya teralihkan secara tidak sadar)
                Menurut Borkovec, dalam kaitannya dengan kecemasan fisiologis, imaji jauh lebih kuat daripada pikiran. Maksudnya efek yang terasa dari deretan kekhawatiran yang lain dari permasalahan semula (imaji) lebih kuat dari alasan ia merasa cemas (pikiran).
                Begitulah kira-kira insomnia jika dikaji lewat sains. Dan, jangan merasa puas dengan kajian ini karena di luar sana pengetahuan akan terus berkembang. Ini bukanlah sebuah makalah, hanya rangkuman pribadi atas apa yang ingin dipelajari. Akan sangat menyenangkan bagiku jika kamu merasa terbantu untuk memahami insomnia lewat tulisanku. Berilkut ini kucantumkan beberapa sumber yang kudapat (sebagian lagi aku lupa identitas bukunya karena sudah kubaca sangat lama).
                Berikut ini beberapa sumber yang mungkin bisa kau kaji ulang:
Nevid, Jeffrey S. dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga
Goleman, Daniel. 2015. Emotional Intelligence. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
buku Why Series : Otak
majalah National Geographic : Otak

video Ted Ed : Brain, (courtesy of youtube)

Komentar

Postingan Populer