Mimpi Ke Makam Rasulullah


Praktek mengajar sudah usai. Aku sudah mengganti rok yang tadi kupakai dengan celana jeans. Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu, sedari masuk kuliah di universitas bernuansa islami ini aku selalu membawa celana jeans di ransel. Di depan kelas, aku sedang menyimpulkan tali sepatu boots dengan kulit sepatu yang menutupi betis. Kututup sepatu boots itu dengan celana jeans, sehingga tak nampak boots itu setinggi betis. Celana jeans dan sepatu boots memang perpaduan yang paling serasi. Itu gaya kesukaanku sehari-hari. (meskipun sebenarnya boots punyaku hanya setinggi mata kaki dan tidak bertali) (hey, apakah ini penting juga kuceritakan? haha)

Tidak kusangka seorang dosen muda lewat di depanku. Entah siapa, dosen itu tidak pernah kutemui di dunia nyata. Dia menegurku karena memakai celana jeans. Kejadian seperti ini pernah terjadi juga dalam kehidupan sebenarnya. Aku ditegur oleh dosen senior karena datang ke kampus untuk meminta surat observasi dengan memakai jeans, sepatu boots, dan jaket gunung. “anak gunung dari mana ini? nyasar ke kampus. Saya tidak suka sama Anda. Anda pembangkang. Dari dulu kuliah ga bener”. (dalem hati : bu, Ibu ngasih saya nilai A bu masa kuliah saya ga bener L). Sungguh, rasanya seperti ditampar. Sakit. Hehe. Jadi di kampusku memang perempuan tidak diperbolehkan memakai celana jeans. Semacam peraturan tak tertulis yang disepakati (dan harus disepakati) bersama.

Di mimpi itu, setelah praktek mengajar ternyata ada kelas tambahan. Ah, sial. Pikirku. Aku masuk kelas dengan menggerutu. “Orang cuma pake celana jeans doang dimarahin. Lagian sepatu boots nya ketutupan celana kok. Ga aku liatin setinggi betis.” (ini gatau kenapa mimpinya hiperbola banget pake sepatu boots ala penyanyi rock.) Daaan tanpa disangka, dosen tadi mengajar di kelas itu. “What the....?” kataku.

Dia meracau lagi soal penampilanku. Bahkan mempermalukanku di depan kelas sampai aku merasa benar-benar tersudut L Teman-teman sekelasku juga ternyata ikut mencemooh dengan mengatakan “kamu tau ga sih, penampilan kamu tuh ngga banget. Menjijikan”. (it such a harsh worrrdds i’ve ever heard L) Aku hanya diam dan menangis. Entah bagaimana ceritanya, saat itu tiba-tiba hijabku lepas. Tergeletak di lantai. Aku berusaha memakainya. Kemudian terlepas lagi. Kupakai lagi. Sulit sekali. Dan ia terlepas lagi. Aku terus menangis. Tiba-tiba pakaianku hanya menutup sebatas dada dan paha. Aku kaget. Sungguh kaget. Aku menangis lagi. Teman-temanku meneriakiku.

Aku berlari keluar kelas. Aku berlari sekencang-kencangnya. Dan airmata masih menjadi bagian dari diriku saat itu. Tiba-tiba aku ada di savana. Sebuah padang rumput yang gersang dan luas. Ada banyak rerumputan yang nampak seperti ilalang. Tapi bukan ilalang. Tingginya selutut. Aku terdiam sesaat. Ada beberapa pohon disana. Semuanya kering. Tidak berdaun. Tiba-tiba aku melihat seorang ustadz, berpakaian ala ustadz komersial dengan sorban di leher. Disana ada dosen yang tadi juga. “Dia?” kataku.

Dosen itu menghampiri sang ustadz, ia mengajak foto bersama. Wefie gitu deh. Ustadznya berkata “Sini sini. Rangkul tangan saya, gapapa kok kalau Cuma rangkul tangan”. Cekrek, cekrek. Dan tidak disangka mereka wefie dengan pose si dosen mencium pipi ustadz itu. L Ini gatau ya, kedua orang itu belum pernah kulihat di dunia nyata. Sambil menangis, aku berlari menghampiri dosen itu dan berkata “Kamu munafik!” (kata-katanya panjang, tapi cuma itu yang kuingat).

Lalu ditengah racauanku ke dosen itu, seorang lelaki datang. Dia tidak terlalu tua tetapi juga tidak terlalu muda. Entahlah suasana seketika menjadi lembut. Aku tidak melihat wajahnya. Juga tidak melihat perawakannya. Aku hanya mengingat nuansa saat ia datang. Bercahaya dan lembut. Entah siapa ia. Katanya “sudah sudah, kemarilah.”

Ia mengajakku ke bawah pohon. Satu-satunya pohon yang rindang disana. Teduh. Di bawahnya ada bebatuan yang ditumpuk mengelilingi pohon. Bebatuan itu ditumpuk persegi. Entahlah, dia seperti sedang menyusun sesuatu. Atau mengambil sesuatu dari pohon. Tidak begitu jelas. Yang kuingat, samar, pohon itu adalah pohon kurma. Tetapi ada beberapa orang disana yang melakukan hal yang sama. Ada ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan anak kecil. Anak kecil itu (entah lelaki atau perempuan) tiba-tiba mengataiku karena tidak berpakaian. Beberapa orang disana juga mengejekku. Aku menangis lagi. Aku menangis tersedu sampai tersungkur ke tanah karena malu.

Lelaki tadi berkata “biarkan dia menangis. Sudah itu kuajak ke makam”. Akhirnya tangisku mereda. Pemuda tadi mengajakku berjalan. Kami berjalan berdampingan. Ia tidak mengatakan apapun, begitupun aku. Kami berjalan menuju sebuah mesjid. Tidak terlalu jauh dari pohon tadi. Aku tidak dapat melihat dengan jelas mesjid itu. Seperti cahaya yang menyilaukan. Bernuansa putih. Tidak ada apapun selain mesjid itu. Kami tidak memasukinya. Kami berjalan melalui pintu samping. Ia mengajakku ke bawah bangunan mesjid. Aku diminta berjalan sendiri. Aku berjalan. Disana gelap. Dan sedikit lembab. Aku sedikit takut. Aku seperti berjalan ke bawah sebuah gua.

Tidak begitu jauh. Sampailah aku pada sebuah makam. Aku langsung menangis tersedu dan bershalawat. Entah mengapa di mimpi itu aku mengetahui “ini adalah makam Rasulullah SAW”. Entah lelaki tadi berkata demikian atau bagaimana. Tetapi di mimpi itu aku begitu meyakininya. Aku menangis sejadi-jadinya. Di atas makam terdapat Al-Qur’an dengan posisi terbuka. Aku sempat membuka beberapa lembar. Tapi yang kulakukan hanya menangis dan bershalawat. Terbata-bata. Sangat terbata-bata. Sahut menyahut dengan suara tangisku sendiri. Aku tidak mengatakan apa-apa. Tetapi aku merasa aku sedang mengadu bahwa aku lelah. Lelah dan bersedih hati.

Makam itu tidak begitu luas. Aku hanya bisa memasukkan sebagian kepalaku saat aku membuka beberapa lembaran Al-Qur’an di atas makam. Seperti ada tembok yang melindungi agar orang-orang tidak terlalu banyak masuk kesana. Makam itu dilapisi porselen. Di permukaan makam terdapat air yang mengalir mendatar. Bukan menetes dari atas. Tetapi air itu selalu mengalir di permukaan makam. Aku masih menangis sejadi-jadinya. Aku membasuh wajahku dengan air itu.

Tak kusangka disana ada dua orang temanku. Salah seorang diantara mereka membetulkan kalimat shalawat yang aku ucapkan. “bukan gitu, gini” katanya. Dan aku mengikutinya. Kami tidak berbicara mengenai apapun selain bershalawat bersama. Ah, haruuuu sekali. Setelah tangisku mereda, kami bertiga keluar bersama. Aku keluar dengan berpakaian lengkap, tidak lagi berpakaian sebatas dada dan paha. Tidak lagi merasa malu. Tidak pula merasa bersedih. Aku merasa baik-baik saja dan merasa tenang.

Aku berjalan sendirian. Berjalan cukup jauh sampai menembus sebuah perkampungan. Disana tidak ada kendaraan lain, hanya mobil pengangkut panen milik warga sekitar. Entah panen apa. Mobilnya seperti mobil truk untuk tentara. Tetapi disana ada karung-karung juga. Suasana disana cukup riuh. Mereka tergesa-gesa membantu aku menaiki salah satu mobil yang sedang melaju. Aku tidak berkata apa-apa. Kulihat disana ada papaku juga. Ia sudah duduk diatas mobil. Ada kakakku. Ada keponakanku juga. Beberapa anak kecil duduk dipangku. Tetapi kami seperti tidak saling mengenal. Aku tidak menaiki mobil  yang sama. Aku menaiki mobil lain. Tetapi aku tahu bahwa arah mobil itu adalah pulang. Terasa sekali tubuh ini bergoyang-goyang karena permukaan tanah yang tidak merata. Debu-debu di belakang mobil beterbangan. “Aku pulang.”, kubilang. Aku menatap ke depan dengan perasaan yang tenang.

Tiba-tiba aku terbangun dengan leher tercekat, seperti telah menangis lama sekali. Aku merasa bingung dan sedikit aneh. “benarkah?”

Aku termenung dan teringat sebuah hadist yang mengatakan “jika ummatku memimpikan aku maka mimpi itu sungguh nyata karena setan tidak dapat menyerupaiku”. Abu Hurairah r.a meriwayatkan “barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihatku secara benar. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai bentukku. Barangsiapa yang berdusta atasku secara sengaja maka ia telah mengambil tempat duduk dalam neraka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Aku teringat kisah anak seorang ustadz (uh, aku sungguh kesulitan mengingat nama, aku lupa namanya) yang pernah bertemu Rasulullah dalam mimpi karena saat itu ia sedang lelah menghapal Al-Qur’an. Aku juga teringat seorang anak di (aku juga kesulitan mengingat nama tempat -____- pokoknya di luar negeri) yang bermimpi bertemu Rasulullah saat ia sedang sakit keras. Saat itu, dalam hati aku berkata “Apalah aku ini, rasanya sulit menjadi mungkin untuk bertemu Rasulullah dalam mimpi. Imanku dangkal. Aku merasa jauh dari agama.”

Dalam bangun dari tidurku aku bertanya-tanya. Tapi kan aku hanya ke makamnya, mungkinkan ini hanya ulah setan? Karena beberapa mimpi memang datang dari setan. Aku memikirkan apa yang aku lakukan semalam? Rasanya aku tidak melakukan hal baik diluar kebiasaan. Aku sedang berhalangan untuk shalat, aku tidak berwudhu sebelum tidur, aku tidak terbangun saat adzan. Apa mungkin? Wallahualam bishawab.

Aku bercerita pada seorang sahabat. Ia mengatakan, meskipun hanya makam, tetapi Insyaallah makam Rasulullah bukan dari setan. Ia juga bilang cerita di mimpiku ‘nyambung’. Dulu Rasulullah juga suka duduk di bawah pohon kurma kalau sedang bersedih. Terharuuuuuu :’( Bagaimanapun, entah di dalam mimpi ini terdapat campurtangan setan atau tidak, aku dapat mengambil makna darinya.

Barangkali Allah mau berpesan, jangan pake celana lagi. Apalagi celana jeans. Tinggalkan. Pakailah pakaian yang baik, pakai rok. Kalau sulit, pakai celana kain longgar yang ga ngetat. Kalo masih sulit, paksakan. Lalu jangan pula berputus asa dari rahmat Allah. (karena sempat berpikir ga mungkin mimpi bertemu Rasulullah atau bermimpi tentang rasul, ga kebayang deh gimana)

Ah, aku jadi ingin cerita mengenai pribadiku dan pergulatan-pergulatan pemikiran yang kualami. Seputar keinginan untuk hijrah dan juga keinginan-keinginan yang menyangkal untuk ‘ga usah hijrah’. Nanti ya, insyaallah kuceritakan. Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang senantiasa diberi hidayah oleh Allah untuk tetap berada di jalanNya. Amiin J

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer