Interaksi Diri (sebuah resensi: Bukan Pasar Malam, Pramoedya Ananta Toer)
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Tebal :
112 halaman
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun terbit : (cetakan ke 8) Agustus 2015
Apa yang terlintas di benak kita
ketika melihat cover buku bertuliskan
“roman”? Roman adalah karangan prosa yang melukiskan perbuatan-perbuatan
pelakunya menurut watak dan isi jiwanya masing-masing. Namun roman juga
merupakan salah satu karya sastra yang semakin hari semakin jarang diminati
pembaca. (Sumber: berdasarkan daftar Top
Ten Toko Buku Gramedia Juni-September).
Dalam benak kita, roman identik
dengan karangan berbahasa baku dengan isi cerita yang mengangkat tema jaman
dulu. Kita lebih tertarik dengan fiksi atau sastra yang mengangkat problematika
kehidupan masa kini seperti kesenjangan sosial, ekonomi, sampai kesetaraan hak
antara lelaki dan perempuan. Cukup wajar bila kehidupan di era globalisasi yang
serba cepat ini membuat kita mengabaikan perasaan yang tak sempat terbahasa
oleh kata. Lalu kita membaca karya-karya yang seolah mewakili perasaan kita dan
merasa terhibur karenanya. Maka eksistensi roman telah sedikit bergeser
kedudukannya dalam deretan minat para pembaca, atau bahkan roman hanya dibaca oleh
pakar-pakar linguistik dan pengamat bahasa.
Sastra
adalah makna hati yang mengungkapkan rasa melebihi logika. Sastra mewakili apa
yang ingin kita tunjukan pada dunia. Sastra mampu menjadi saksi dari
perkembangan budaya dan pola pikir kehidupan manusia dari masa ke masa. Dan seorang
penulis tentulah orang yang mampu menerjemahkan apa yang ada di dalam hati dan
pikirannya untuk diungkapkan. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kebanggaan
Indonesia, adalah orang yang kemampuan menulisnya melebihi definisi sastra yang
saya kemukakan. Dan ada sesuatu yang magis—kesan yang tercipta ketika kita
membaca tulisannya—yang tak saya temukan dalam karya sastra masa kini.
Bukan
Pasar Malam. Saya tidak mampu membayangkan apa yang dibahas buku ini ketika
pertama kali membaca judulnya. Namun dari tag
line dan sinopsis yang terdapat di dalamnya cukup mewakili mengapa buku ini
diberi judul demikian. Buku ini mengungkapkan pertanyaan tokoh “aku” terhadap
kehidupan di dunia, yang mempertanyakan mengapa kita lahir satu per satu dan
mati satu per satu pula. Hingga sampailah ia kepada pemahaman bahwa hidup ini memang
bukan pasar malam yang manusianya datang berbondong-bondong dan pulang
berbondong-bondong pula.
“Dan di dunia ini manusia bukan berduyun-duyun
lahir dan berduyun-duyun pula kembali pulang…seperti dunia dalam pasar malam.
Seorang-seorang mereka datang…dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas
menunggu-nunggu saat nyawanya terbang entah kemana.”
Sekilas
memang dirasa terlalu sederhana jika kita hanya melihat benang merah yang ada
dalam buku ini. Namun saya rasa tak mungkin bila makna dari penulis Indonesia
yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra ini
hanya sampai disitu saja. Maka sudah tentu buku ini memiliki nilai-nilai
tersembunyi yang perlu kita temukan.
Dalam
membaca buku ini, pertama kita disuguhkan tentang penyesalan surat terakhir
yang dikirimkan oleh tokoh “aku” pada ayahnya yang kemudian dikabarkan sedang
sakit. Hingga mengharuskan tokoh “aku” yang pada saat itu telah menetap di
Jakarta bersama istrinya untuk pulang ke kampung halamannya di Blora demi
menjenguk ayahnya. Pramoedya Ananta Toer mengajak kita berpetualang dalam
kenangan pahit tokoh “aku” selama menjalani masa tugasnya sebagai prajurit
pejuang kemerdekaan yang menyeruak kembali ke permukaan saat ia melewati
jalan-jalan tertentu dari Jakarta menuju Blora. Kita akan terbawa dengan
suasana pergulatan jiwanya dan apa saja yang menjadi perenungannya.
Keluh
kesah tokoh “aku” pada dirinya sendiri sangat sarat akan makna sosial dan
kemanusiaan yang kadang luput dari perhatian kita sehari-hari. Boleh saya katakan,
Pramoedya mengeluh dengan cara yang elegan. Seperti ditemukan dalam kutipan
berikut “…di kala itu juga aku
berpendapat; bahwa orang yang punya itu banyak menimbulkan kesusahan pada yang
tak punya. Dan mereka tak merasai ini.” Begitu keluhnya saat mengayuh
sepeda dengan peluh dan keringat yang bercampur debu jalanan.
Namun
si “aku” tidak hanya mengkritik dunia lewat sudut pandang orang pinggiran saja, ia juga
mengritik dirinya sendiri yang seakan menenggelamkan kita secara perlahan
menuju kesadaran diri. Secara tidak
langsung, bagi saya, ia mengatakan “tidak ada hal di dunia ini yang bebas dari debu, termasuk diri kita
sendiri”. Sepanjang membaca buku ini, kita juga seperti diajak membuka
lembaran-lembaran luka dalam kehidupan, atau penyesalan yang kesalahannya itu
baru kita sadari.
Kita
akan menemukan banyak penggunaan tata bahasa dan kata-kata yang mungkin telah
asing untuk dibaca. Seperti penggunaan kata Engkau, Adinda, alangkah, Nampak,
Tuan, O, dan tata bahasa yang agaknya menjadi kekurangan buku ini karena
kesulitan dalam pemahamannya. Namun terbersit tanya dalam benak saya, “apakah
kita telah berjalan begitu jauh dari dunia ini, hingga kata-kata yang anggun
itu seakan hanya tertera dalam kamus bahasa saja? Kekayaan Bahasa yang digerus
masa ataukah sudut pandang kita terhadap kekayaan itu yang terus memudar?”
Begitulah, roman ini mengundang banyak tanya yang jawabannya terdapat pada
cermin diri masing-masing pembaca.
Sesampainya
di Blora, kita juga akan menemukan bagaimana keperwiraan seorang prajurit
revolusi berkali-kali menangisi kenyataan hidupnya: ketika mendapati adik perempuannya
sakit keras karena TBC, beban ekonomi keluarga, rumah yang sudah semakin tua,
dan tentunya terhadap pesakitan ayahnya yang semakin hari semakin melemah.
Digambarkan dalam buku ini betapa ia takut akan kehilangan seorang ayah,
seorang pahlawan dalam hidupnya.
Begitu
terasa oleh saya, ada adab yang hilang tergerus masa yang terus menerus
mengalami pergeseran nilai khususnya dalam hal tata krama. Dalam buku ini
dipaparkan bagaimana cara sang ayah menyuruh anak-anaknya pulang, bagaimana ia
menyampaikan keinginannya, bagaimana cara seorang anak berbicara pada orang
tua, dan seberapa besar kasih sayang anak terhadap orang tua, semua itu
tergambar dalam percakapannya sehari-hari. Lalu saya sedikit membandingkan
dengan keseharian kita dewasa ini. Sesaat saya merasa tersesat dalam alam
pikir, “mengapa dunia jadi seperti ini? Sedang kita hanya berjarak satu abad
dari tata krama yang sedemikian indahnya. Kita yang berjalan terlalu jauh atau
hanya saya yang tak mengenal budaya seindah itu?”
Saya
mendapati perbedaan makna antara apa yang tertulis pada Kata Pengantar dari penerbit
dengan apa yang saya baca. Penerbit mengatakan: “Dikisahkan bagaimana keperwiraan seorang dalam revolusi yang pada
akhirnya melunak ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari:…dan menghadapi
istri yang cerewet.”. Jika kita membaca bahwa selama dalam perjalanan dari
Jakarta menuju Blora istri tokoh “aku” terkesan banyak bertanya, dan juga
respon tokoh aku terhadapnya seakan tak memiliki ketertarikan lagi, menurut saya itu hanyalah perbedaan karakter
perempuan dan lelaki yang ditinjau dari sudut pandang lelaki yang sedang
terpengaruh oleh banyak hal yang dipikirkannya. Rasanya terlalu
cepat bila kita menilai sang istri adalah orang yang cerewet.
“Isteriku menyuapkan sup sumsum ke mulut ayah. Dan dikala itu
terasa oleh hatiku betapa gampangnya manusia dengan manusia didekatkan oleh
kemanusiaan.” Tokoh “aku” beberapa kali
menggambarkan perhatian istrinya kepada ayahnya. Memang tergambar pula
bagaimana istrinya lebih memikirkan keadaan keuangan mereka saat itu dan
kehidupannya di Jakarta, sedangkan tokoh “aku” lebih memikirkan kondisi sang
ayah dan keadaan keluarganya di Blora. Jadi sepertinya akan lebih bijaksana
bila kita mengganti kata cerewet
dengan “…dan menghadapi berbagai perbeedaan
pendapat dengan istrinya.”
Lalu
kita akan menemukan permasalahan utama, tentang penyebab penyakit ayahnya yang
dalam waktu singkat semakin parah. Digambarkan betapa menderitanya ia berjuang
melawan penyakitnya, dan betapa pedih hati anak-anaknya melihat keadaan itu. Pada
bagian ini barulah saya tahu bahwa ayahnya adalah seorang guru yang sangat
besar pengaruhnya di kalangan guru pada masa itu. Sampai diketahuilah bahwa
penyakitnya itu bukan karena kelelahan yang dialaminya selama menjadi guru, namun
apa yang menyita pikirannya.
Ini adalah kutipan seorang dukun yang didatangi oleh tokoh “aku” dan pamannya “Tidak. Aku yang sudah lama jadi guru bisa mengatakan—tidak. Sungguh, penyakitnya bukan karena itu. Karena beliau minta kembali jadi guru itulah sebabnya. Limabelas-duapuluh kilometer mengayuh sepeda itu bukan perkara berat untuk seorang guru. Yang berat ialah mengajar, menelan pahit-getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan orangtua si murid. Itulah yang gampang sekali menghancurkan seorang guru…” Dan ini kutipan yang paling berkesan bagi saya “…Seorang guru adalah kurban—kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat—membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa.”
Kemudian
roman ini dilanjutkan dengan bagaimana kondisi sang ayah yang semakin parah dan
betapa tokoh “aku” dan adiknya juga semakin terluka akan hal ini. Dalam
keterjagaan mereka saat menunggui Bapaknya, ada sebuah percakapan yang saya
sukai maknanya. “Karena, Adikku, dalam
diri sendiri itu terletak segala-galanya yang ada di dunia, yang dirasakan juga
oleh tiap orang.” Dan banyak percakapan lain yang merupakan refleksi dari
interaksi tokoh “aku” dengan dirinya sendiri. Seperti yang ia katakan pada dirinya:
“Aku tertegun. Perkataan itu sesungguhnya
kutujukan pada diriku sendiri, dan sekali-sekali bukan pada adikku…”
Keadaan
sang ayah semakin hari terus memburuk, sampai ia menyerah lalu mengirimkan
surat pada anak-anaknya agar ia dibawa pulang ke rumah saja. Konflik cerita
semakin kental dengan kejadian-kejadian yang terjadi setelah Bapak mereka
berada di rumah. Mulai dari pertengkaran tokoh “aku” dengan istrinya, harapan
yang hampir pudar bagi mereka mengenai kesembuhan Bapaknya, dan juga kejadian
yang tak terlupakan bagi tokoh “aku” dalam seumur hidupnya.
Saya
sangat menyayangkan keterbatasan pemahaman saya menggenai makna yang terkandung
dalam bagian ini. Bagian yang takkan mungkin terlupakan oleh tokoh “aku”.
Bagian yang merupakan detik-detik kepergian sang ayah. Bagian yang menceritakan
kata-kata terakhir sang ayah kepada anaknya.
“ Di sini, Anakku—di sini ada sembilan puluh sembilan jagung yang disayembarakan. Mengerti? Jagung itu ditembak dari sana—dari jurusan timur. Tapi tak sebutir pun diantara jagung yang sembilanpuluh sembilan itu kena. Mengerti? Tak ada yang kena, Anakku. Itu adalah berkah kekuasaan-Nya. Mengerti?”
Namun terlepas
dari ketidakmengertian saya, terasa benar betapa kacaunya saya jika berada
dalam keadaan demikian. Digenggam erat oleh seorang ayah yang sedang meregang nyawa dan
mendengar kata-katanya yang diucapkan dengan penuh perjuangan. Tak mampu
saya bayangkan bagaimana pilunya. Saya mungkin tidak dapat memahami makna
percakapan itu, tapi saya mampu merasakannya. Mungkin ini pula yang menjadi
kekurangan dalam buku ini, makna yang sulit dipahami. Namun seorang penulis
yang baik selalu mampu membawa kita terhanyut dalam suasana yang ada di
dalamnya. Dan Pramoedya berhasil melakukan itu. Ia bermain terlalu cerdik dalam
kata, sampai keterbatasan pemahaman kita kadang tak mampu menerka. Apa yang
saya sebut sebagai kekurangan tentulah menjadi kelebihan bagi penulis dalam hal
kecakapan menulisnya. Kembali, interaksi diri pembaca bisa mengurai hal ini,
entah itu sebagai kekurangan atau kelebihan.
Inilah bagian yang paling
menyentuh hati saya Yang membuat saya terenyuh dan haru hingga memikirkan pula
nasib generasi penerus bangsa. Juga yang membuat tenggorokan tercekat menahan
air mata. Bagian dimana terungkapnya alasan yang mendasari sang ayah menjadi
guru.
“…perwakilan rakyat? Perwakilan rakyat hanyalah panggung sandiwara. Dan aku tidak suka menjadi badut—sekalipun badut besar… Tempatku bukan di kantor. Tempatku di sekolahan… kita guru-guru di tanah air kita ini jangan sampai kurang seorangpun juga.”
“Aku tak mau jadi ulama. Aku mau jadi nasionalis. Karena itu aku jadi guru. Membuka hati anak-anak untuk pergi ke taman..patriotisme. Karena itu aku jadi nasionalis. Berat, anakku, sungguh berat jadi seorang nasionalis. Karena itu aku memilih jadi guru. Jadi lembaga bangsa. Tapi aku rela jadi nasionalis. Aku rela jadi kurban semua ini.” Kata-kata ini diucapkan terpatah-patah dengan napas yang tersengal-sengal.
Hal ini pula yang membuat tokoh “aku”
semakin menyesali surat terakhir yang ia kirim pada sang ayah. “Ananda tak suka mendengar kabar tentang
sakitnya adikku itu. Sungguh aku tak bersenang hati. Mengapakah adik saya itu
bapak biarkan sakit. O, manusia ini hidup bukan untuk dimakan tbc, Bapak.
Bukan.” Mulanya saya membayangkan kata-kata yang kasar dengan akhiran tanda
seru di setiap kalimat. Namun ternyata seperti inilah yang ia sebut sebagai
surat yang pedas dan tak enak dibaca. Saya malu dengan ekspektasi saya sendiri.
“Dan sekarang nyata olehku sendiri, bukan adikku yang sakit seperti itu, tapi ayahku sendiri, ayahhku sendiri. Kacau dadaku. Dan airmata terus menderas. Leher-leherku terasa kaku oleh tangisku sendiri itu..”
Terasa pula oleh saya banyak sekali
kesalahpahaman yang berasal dari miskinnya pemahaman. Terlalu idealis padahal
belum mengetahui kebenarannya secara nyata. Betapa seringnya kita bangga atas
anggapan yang hanya didasari praduga semata. Betapa dekatnya kita dengan
situasi-situasi seperti ini yang akarnya ada dalam diri kita sendiri. Sekali
lagi, buku ini mengajak kita berinteraksi dengan diri sendiri.
Bagian
akhir dalam buku ini, terjawablah sudah alasan mengapa buku ini diberi judul
demikian. Tentang pemahamannya bahwa hidup ini bukan pasar malam, berangkat
dari percakapan salah seorang pelawat pada kawannya. “…mengapa kemudian kita harus bercerai-berai dalam maut. Seorang. Seorang.
Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorangg lagi. Seorang lagi. Dan seorang lagi.
Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia
ini seperti Pasarmalam.”
Saya terkesima untuk kesekian kalinya
tentang pola pikir dan sudut pandang penulis dalam memaknai hidup ini. Saya
teringat sebuah quotes yang mengungkapkan: “people
don’t die by suicide, they die by sadness.”—anonim. Terlepas dari nyata
atau tidaknya seluruh peristiwa yang ada dalam roman ini—saya mengesampingkan
hal itu—bagian akhir roman ini membuktikan apa yang diungkapkan quotes tadi. Karena sebuah quotes tidak lahir begitu saja, kadang
ia lahir dari luka dan airmata yang berdasar pada kenyataan sebuah peristiwa.
Hal ini dapat kita temukan dalam percakapan antara seorang pelawat dengan tokoh
“aku”.
“…dan barangkali inilah yang tidak Tuan ketahui, ialah: ayah Tuan gugur di lapangan politik…Aku lihat Tuan kaget. Tapi sesungguhnyalah begitu. Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai…segala kekecewaannnya itu direndamnya saja dalam hatinya. Tapi akibat yang sangat besar tak diduganya akan menimpa dirinya. Tbc kilat! Dua setengah bulan sakit, dan beliau terus pergi.”
Apa
yang kita sebut sebagai keabadian di dunia ini? Adakah yang lebih abadi dari
kertas dan pena yang menjadi saksi kisah hidup kita? Sebelum itu, apa yang
mendasari kita untuk mengabadikannya? Kesan. Kesan selalu melekat dalam diri
selama kita masih menjejakkan kaki di bumi. Dari kesan, kita berangkat menuju
pemahaman dan keinginan agar dunia memahaminya pula. Apa yang ada di atas
kertas mungkin akan terganti, terhapus, dan terlupakan. Tapi kesan selalu ada
dalam benak, menjadi bagian yang tak terpisahkan. Begitulah, apa yang Pramoedya
tulis melahirkan kesan-kesan baru, hasil dari interaksi diri yang tercipta
sejak kita membaca halaman pertama.
“Death is not the greatest loss in life. The
greatest loss is what dies inside us while we live.”—Norman Cousins, dalam
Critical Eleven; Ika Natassa.
***
ditulis pada 31 Oktober 2015, sebagai salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
Komentar
Posting Komentar