Selamat Malam, Malam


Malam ini Ia bercerita tentang mimpi dan harapan. Tentang batas waktu yang tersisa untuk menikmati senja. Kami menggapai-gapai angan, berusaha menjadikannya nyata. Sedikit penyesalan menyapa dalam percakapan kami.
“Mengapa tak dari dulu aku mencari ilmu?” katanya. “Apa kamu juga sempat menyesali ini?”
“Ya, aku sering merasakannya, tapi berusaha tak ku pedulikan.”
 “Tapi terkadang ini membuatku sedih. Aku baru bersemangat ketika mengingat temanku yang berusia 26 tahun, lalu diriku berkata ah, dia juga masih semangat menjalani ini, mengapa aku tidak.
“Ya, kamu benar.”
“Jika aku lulus nanti, usiaku sudah 24 tahun. Seandainya aku kuliah tepat waktu sekarang pasti sudah hampir selesai”
“Ya, tapi tak apa, waktu bukan ukuran kualitas.”
“Malah ada dosenku yang sudah punya gelar Magister of Management  di usia 25 tahun. Aku 24 tahun baru lulus S1 nanti”
            Lalu aku bercerita tentang waktu. Hidup ini bukan hanya sekedar seberapa pintar engkau di usia berapa. Ku bilang bahwa banyak sekali Magister dan Doktor yang berpendidikan tapi lupa bagaimana cara menikmati hidupnya secara utuh. Dan ku bilang Ia bisa melihat—jika saja Ia mau—tak sedikit orang yang berjalan tak berarah meski ia tahu diamana ia seharusnya berada. Dan kebahagiaan bukan hanya ada dari seberapa cepat engkau berlari dalam sebuah hari. Tapi seberapa mampu engkau memaknai perjalananmu itu, dan seberapa mampu engkau menjadikannya pelajaran bagi yang lain.
            Bukankah setiap perahu tak selalu berlayar di titik kordinat yang sama? Bukankah kita semua bisa berlabuh di dermaga yang berbeda? Bukankah perjalanan menuju Eropa tak selalu ditempuh dalam waktu yang sama?
Kemudian aku membiarkannya merenung dalam pelukanku.
            Lalu ku ceritakan padanya tentang dua orang anak kecil yang ingin membeli permen. Seorang berasal dari keluarga kaya yang selalu mendapatkan apa yang ia mau dengan mudah. Ia mendapat sekeranjang permen dari uang yang dimilikinya. Ia sangat senang mempunyai banyak permen warna warni. Satu merah, satu kuning, satu hijau, satu biru, satu ungu, satu coklat, satu berbintik, satu bergaris, ia memiliki semua permen yang ada di benaknya. Namun bahagia itu hanya sebatas kata bahagia. Tak bermakna.
            Seorang lagi berasal dari keluarga miskin. Ia tahu semua anak seharusnya memiliki permen. Ia tahu semua anak ingin tersenyum bahagia. Dan Ia tahu dirinya tak mampu membeli permen. Ia juga tahu ia tak bisa minta dibelikan. Lalu ia menunggu. Berharap. Menanti. Ia menyimpan keinginan itu. Kau tahu apa yang ia lakukan? Ia berusaha keras mencari cara agar ia bisa membeli permen. Hanya permen. Hanya, permen, yang bisa anak manapun beli dari meminta. Sampai aku melihat betapa rona bahagia terpancar dari senyumnya saat ia membeli satu permen lolipop dari usahanya sendiri. Berbagai warna ada disana, berpadu dalam satu lingkaran kecil. Seperti pelangi. Seperti pelangi di matanya. Dan ia peri kecil yang menari di bawah pelangi itu, dengan wajah cerianya yang lugu. Aku bisa merasakan kebahagiaan itu, mendapat apa yang kau nantikan lewat sebuah perjalanan panjang, meski apa yang orang bilang hasil itu tak ada apa-apanya.
            Dan aku mengelus rambutnya, membiarkan ia merasakan ceritaku.
Ku bilang padanya, tak semua pengamat bintang melihat satu bintang dengan penilaian yang sama. Tak semua orang melihat ukuran kebahagiaan dengan nilai yang sama. Jika satu bintang terang dalam hatimu mampu menerangi langkah hidupmu, engkau tak perlu menangisi semesta yang memiliki jutaan bintang di langitnya. Jika engkau mampu meyakini cahaya mimpimu, untuk apa menyesali apa yang orang lain pancarkan dari dirinya. Ku bilang bahwa, semua bintang mempunyai titik kordinat yang berbeda, membentuk sebuah rasi yang indah semasa hidupnya. Kubilang bahwa, setiap bintang mampu hidup selama ratusan juta tahun, dan bahwa sinar dalam hatinya mampu bersinar selamanya.
Kemudian aku mengecup keningnya, meyakinkan bahwa ia mampu menjadi dirinya sendiri. Sampai satu suara memecah semuanya.
“Kakiku sakit lagi, dan aku mengantuk.”
“Tidurlah, selamat malam.” Kataku.
Lalu yang kudengar hanya suara napasnya saja. Aku tahu hari ini ia lelah.
Aku harap ia mendengar semua yang ku bilang, semua yang ku ceritakan, semua suara dalam hatiku. Ataupun jika ia tak mampu, kuharap suatu hari ia mampu menyadari makna hidup ini, meski tanpa terucap kata dari bibirku. Dan mungkin aku juga berharap ia tahu bahwa benakku mampu bercerita banyak hal hanya dalam beberapa saat. Ya, benakku, bukan kata dari bibirku.
Dan aku menutup telponnya, menitipkan peluk dan kecupku pada desir angin malam. Sampai bertemu nanti, yang selalu ada dalam mimpi.

Komentar

Postingan Populer