Bosan

Bosan. Sangat bosan. Ragaku menua dimakan kebosanan. Terlalu banyak. Rasanya terlalu banyak detik-detik itu terbuang. Denting jam terdengar pilu menyakitkan tanpa menyisakan jejak apapun. Kenapa ini? Ada apa di dalam sini? Lagi-lagi benakku penuh tanpa kutahu apa saja yang bergemuruh di dalamnya. Ah. Payah!
                Slalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam
Sebuah lagu. Nada dan puisi memang terkadang menjadi satu-satunya yang membela sepi yang tersembunyi dalam diri. Begitulah puisi. Sebagian mencari, sebagian lain mencaci. Sebagian mencipta, sebagian berkata puisi hanyalah sunyi dan sakit hati yang dibuat abadi. Ah. Siapa peduli.
                Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini
                Menanti seperti pelangi
                Setia menunggu hujan reda
Aku? Terlalu meratapi diri? Tidak. Aku hanya menghibur diri. Mengakui sebagai yang sedang bosan dimakan kegelapan pikir. Yang tidak berlarian menuju cahaya bersama sebotol vodka. Lalu melayang sampai ingin bercinta. Terlalu lelah dengan dunia lalu tersadar kehampaan semakin nyata. Tidak, tuan, puan. Aku tidak membela bosan dengan cara itu. Jadi biarkan aku melagukan bosan dan gelap ini dengan kata-kata dan beberapa lagu di kepala.
Aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember
Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka
Meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka
Tidak juga. Aku sedang tidak menganggap bahwa hujan meneteskan luka ataupun memulihkan luka. Diluar sedang tidak hujan kali ini. Dan aku tidak ingin alam bawah sadarku terbawa suasana ketika hujan tiba. Tapi boleh juga. Karena mungkin saja diluar sana ada yang sedang berelegi, mengadu kepada hujan perihal air matanya dan air mata dari lagit. Entah karena kecewa ataupun patah hati sampai ingin bunuh diri. Semoga hujan mampu memulihkan luka. Meretas luka menjadi buah bahagia. Semoga.
Kadang aku berterimakasih pada banyak lagu. Atau memuji sang penggubah lagu. Mereka berhasil menyatukan nada dan puisi menjadi satu-satunya pembela diri ketika semua orang sibuk dengan jalannya sendiri-sendiri. Dan karena lagu selalu mau ku putar berulang kali, tak peduli apakah pagi membenci puisi atau diri yang berelegi terlalu dini pada sebuah hari. Karena lagu tak akan menghakimi meski akhirnya kau benci.
Terimakasih untuk sebuah lagu yang menamakan dirinya sebagai Desember, dari sang empunya Efek Rumah Kaca. Aku suka. Bosanku ada yang membela.

Komentar

Postingan Populer